Misuh-misuhan
Katanya Jogja itu istimewa, tapi bagi kami yang tinggal di sini, apa masih pantas disebut begitu?
Setiap pagi, jalanan sudah seperti arus sungai manusia yang tak berhenti mengalir. Klakson bersahutan seperti doa yang kehilangan arah. Bau knalpot, teriakan pengendara, dan panas aspal menjadi rutinitas yang dipaksa kami cintai.
Aku pernah tanya pada seorang bapak tukang sampah di sekitar Malioboro:
“Masih betah, Pak, kerja di sini?”
Dia cuma tersenyum miris dan berkata,
“Betah? Betah kalau kota ini bisa sedikit bernapas. Tapi sekarang, Jogja udah kayak ember bocor — makin ditambal makin deras bocornya.”
Ucapan itu menampar. Jogja yang dulu penuh teduh kini berubah jadi panggung kebisingan. Gedung bertambah, tapi pohon berkurang. Wisatawan datang dan pergi, tapi sampahnya menetap.
Seorang pengamen yang sering kutemui di perempatan Tugu juga pernah berkata,
“Jogja bukan lagi tempat mencari tenang, tapi tempat orang mencari pengakuan.”
Kalimat itu terasa pahit. Tapi begitulah kenyataannya. Kota ini kini menjadi labirin ego — antara pendatang yang mencari tempat dan warga lokal yang kehilangan ruangnya.
Jogja memang masih punya senja, tapi senja kini tenggelam di antara papan reklame dan deretan mobil pribadi yang menutup pandangan. Kadang aku berpikir, apakah benar Jogja ini kota pelajar, atau kota yang sedang belajar menoleransi sesaknya sendiri?
Namun, meski semua terasa jenuh, ada sesuatu yang tak bisa hilang: harapan kecil di sudut kota. Dari mereka yang masih mau memungut sampah, menanam pohon di pinggir jalan, atau sekadar tersenyum saat macet parah melanda.
Mungkin mereka masih percaya, Jogja bisa pulih — asal kita berhenti merasa bahwa kota ini hanya milik kenangan.

0 Response to "Misuh-misuhan"
Post a Comment